AKU YANG BODOH DAN KERDIL

 


     

Oleh: Kholisoh Nur Azizah_Sem.V

           

    Awannya abu-abu.Ini tanda akan turun hujan. Baru saja pagi tadi hujan, siang menjelang sore ini perkiraan akan turun hujan lagi, gemar sekali hujan membasahi bumi. “Hahaha, aneka pacitan ternyata masih buka pintu.”  Sambil berjalan, hatiku tertawa  melihat rumah makan pak Ibnu. Pak ibnu seorang lelaki pemilik rumah makan masakan Jawa yang sudah dua puluh dua tahun sukses. Baginya, bukan harta melimpah yang menjadi prioritas, tapi sekedar bisa menyambung hidup saja sudah Alhamdulillah. Kendati demikian, pak Ibnu hanya hidup seorang diri dan tidak lagi menafkahi keluarga. Hal ini atas dasar survei saat sekelompok mahasiswa yang mewawancarai seputar kesuksesan pak Ibnu. Saking asiknya, wawancara yang mula membahas tentang cara jitu sukses, menjadi geser hingga bertanya sepintas kondisi keluarganya. Namun untuk kronologi pecahnya keluarga, pak Ibnu jelas menyembunyikan.

Hingga kapan aku berhenti membawa perkakas sol sepatu ini. Berteriak kesana kemari mengelilingi bumi demi mendapat rupiah ditiap pasang sepatu, rela suara kuhabiskan. “Serakah sekali. Semua yang lapar banyak menjemput pak Ibnu. Pelet ini, jelass….” Bentak Rio pembawa perkakas sol sepatu jalanan. Rio yang tidak mengetahui dunia perdukunan, seceplosnya bilang begitu teruntuk pak Ibnu.

            Diruang berAC pak Ibnu memanggil marketing rumah makannya. “Jangan lupa 25% dari laba ditabung untuk acara santunan yatim piatu empat hari mendatang.” Tegas pak Ibnu. “Satu lagi 15% sisihkan untuk pembagian sembako keibu-ibu.” Sehari rutin tiga kali pak Ibnu mengingatkan pegawainya, sudah seperti mengonsumsi obat saja,.

            Ini data santunannya, kita utamakan tetangga terdekat terlebih dahulu.” Pak Ibnu sampaikan.

            “Rio Prasetyo!???” Mata Larasati melotot. “Dia yang sudah menuduh bapak pakai pelet!!! Masih mau?? Bapak memberi belas kasihan padanya. Hemh,, balasan yang tidak setimpal.” Larasati mulai mengompori Pak Ibnu. Tadi yang tak sengaja berpapasan dengan Rio ditepi jalan tatkala Rio mengata-ngatai Pak Ibnu.

            “Larasati, Dia yatim, tetangga kita. Untuk berburuk sangka padanyapun, saya tidak mampu. Bagaimana saya mau membencinya?, jelas tidak mampu, saya.” Jawaban yang menidurkan hati para pendengarnya. Larasati tidak lagi berani menjawab, ia benar-benar tunduk mematung.

                                                                        ***

“Ada berlian.” Ucap Rio. Ya,  berlian yang dimaksud Rio adalah bapak berjaz dan berdasi rapi yang menghampirinya untuk menyemir sepatu. Dengan songongnya bapak ini menyodorkan kaki pada Rio tanpa rasa belas kasihan sedikitpun. Setelah selesai,  “Segini cukup,kan” Kata bapak ini. Karena tubuhnya yang gagah perkasa nampak seram, terima tak terima uang sepuluh ribu rupiah harus Rio syukuri. Padahal, biasanya, menyemir sepasang sepatu diupahi dua puluh ribu rupiah. Rio tak berani membantah pemberian bapak ini, hanya berani mengelus dada sambil membatin “Gaya elit, bayar semir sulit”.

            Makin petang, langit mulai mengambah jingga. Syukurlah, tak jadi hujan. Bingungnya, aku tak berani pulang, ibuku mau makan apa?? Sedangkan adzan maghrib tiga belas menit lagi berkumandang. Tak mau pulang, tapi ibu pasti kelaparan, dari siang menahan makan dan minum. Akhirnya secepat mungkin uang sepuluh ribu tadi Rio belikan nasi bungkus Serbu (serba sepuluh ribu) untuk dimakan berdua. “Mari makan bu.” Tetes air mata Rio membasahi pipinya. Bukan hanya sedih tidak bisa membeli makan dengan cukup, namun, Rio juga sedih melihat kondisi ibunya yang makin lemah, tiap hari hanya berbaring diranjang tidur tanpa aktifitas apapun. Untunglah ibu tidak putus asa, masih mau menahan.“Sabar bu,” batin Rio.

            “Assalamualaikum,,,”. Dengan santun suara itu terdengar.

            “Wa’alaikumsalam”. Jawab Rio sembari jalan menjemput pintu.

            “Ini ada sedikit pemberian dari Pak Ibnu, sekaligus undangan santunan yatim untuk empat hari mendatang.” Parsel mewah  Rio terima, berasa menelan ludah mentah-mentah. Sudah tiap kali berburuk sangka pada pak Ibnu malah  hadiah besar yang dibalasnya.

            Ucapan apa yang layak tersampaikan selain, terimakasih. Dan, permohonan maaf.

            Rio sama sekali tidak mengambah bangku Sekolah Dasar. Diusianya yang telah menginjak tiga belas tahun, bukannya asik duduk dibangku sekolah, Rio sudah dituntut untuk membantu nafkah harian sekaligus mengurus ibunya. Sudah hampir satu bulan ibunya berbaring.

 

Penulis adalah: Literasi Mahasantri

                                                                                   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AKU, DIMASA SEKARANG DAN MASA YANG AKAN DATANG

MELESTARIKAN SUMBER DAYA ALAM