HARTA HARUN
Oleh: Kholisoh Nur Azizah_ sem. IV
Tak
bisa berbohong, wajahmu nampak penuh haru selepas keluar dari kantor pusat.
Langkah yang mulanya begitu tegak nan cekata, belakangan ini makin hari malah
lengah tapi masih sedikit ada daya.
Mengerucut
bisu mimik wajah yang kau sampaikan padaku. Selepas jamaah ashar, kau malah
pergi entah kemana bersama satu buku biru dan penanya.
Berpindah hari. Saat sinar matahari belum
juga muncul, kau datang hanya membawa senyuman terpaksa. Senyuman yang kau beri
padaku bukan seperti senyuman seminggu yang lalu, aku tahu betul hal itu. Hanya
selimut biru yang mungkin membuatmu sedikit nyaman saat kau baringkan tubuh
lemasmu dikasur tipis tak ada rasa empuk.
Padahal ini masih teramat pagi, matahari baru mengeluarkan sinarnya dua
menit menit yang lalu, ibadah yang biasanya kau tunaikan malah kau ganti untuk
mencari bunga tidur. “salah satu penyebab fakir,,,,” dawuh
kyaiku.
Saat berlanjut takbir maghrib menyatukan umat muslim yang akan merujuk pada masjid
atau mushola, tapak pena yang berjalan mengukir ribuan kalimat pada buku birumu,
seketika terhenti. Telinga langsung terfokuskan pada suara adzan itu dan berhasil
menggemingkan bibirmu “Allahu akbar”
menjawab adzan lalu tunduk melangkah mengincar shaf pertama diAula
utama.
“Tumben
langsung tidur??. Padahal kajian malam kali ini diampu oleh pak Ahmad loh.”
Ujar Ifan teman kamar yang memperhatikan Harun. Pak Ahmad adalah guru favorit
Harun sedari awal ia belajar dipesantren.
“Iya, lagi
butuh banyak istirahat aja. Nggak papa, besok aku siap menghadap hukuman dari pak
Ahmad karena bolos mengaji.”
Senyumanmu amat
kaku, begitu pasrahnya dirimu, seperti tak ada rasa bungah untuk melanjutkan
hari. Lagi dan lagi yang kau bersamai adalah selimut biru langit, terengkuh
hangat hingga menutupi seluruh tubuhmu, dari ujung kaki hingga ujung rambut.
Dalam selimut itu, terdengar lirih isak
tangismu. Mau ku tanya, tak mungkin kau menjawabnya. Aku tahu, kau sedang butuh
ketenangan sesuai dengan caramu sendiri. Karena aku harus menggugurkan
kewajibanku untuk mengaji, maka ku tinggalkan kau sendiri dikamar yang telah
hening ini.
Kesendirianku dikamar, membuat tangisku makin meledak. Sekuat mungkin ku
tahan suara kerasku agar tak ada yang mendengar bahwa aku sedang menangis. Iyakah?,
semakin teringat jelas saat kau suapkan
satu sendok makan dengan sayur bayam dan cuilan tempe goreng diusia remajaku.
sedikit malu, sudah besar, makan masih disuapin. Tapi rasa itu begitu nikmat
tiada tara, ditambah cerita panjang yang menjelaskan keadaan zaman dahulu
sebelum adanya aku.
“meredalah!
Cukup sudah tetesan bening ini jatuh luntur membasahi pipi.” Seruanku dalam
hati.
Berasa ingin selalu ada dalam bunga tidur. Entah
yang terjadi berupa mimpi baik ataupun mimpi buruk, yang ku tahu itu hanyalah
mimpi yang tak berpengaruh apapun, tidak mengandung dosa tidak juga mengandung
pahala, itulah bunga tidur. Bukan realita yang membuatku terkadang harus mengadem-adem diri sendiri agar tidak
bunuh diri dan tentunya akan berpengaruh
atas apa tindakanku itu. Jika aku mimpi
buruk pun, dan kemudian terbangun, masih bisa kuludahkan kesebelah kiri sesuai
dengan Hadits Riwayat Muslim yang berbunyi: Dari Jabir ra. Dari Rasulullah
saw., beliau bersabda: Bila salah seorang dari kami bermimpi sesuatu yang
tidak disenanginya maka hendaklah ia meludah kesebelah kirinya sebanyak tiga
kali dan berlindung diri dari gangguan syetan ( dengan membaca A’udzubillahi
minasy syaithaanir rajiim) sebanyak tiga kali serta berbaliklah dari tidurnya
yang semula”. ( HR. Muslim). baiknya sunah rasul yang kudapat.
***
Berat. Berat
untuk membuka mata. Bukan karena masih terkantuk-kantuk, tapi karena ragu untuk
menghadapi hari ini. Akan terjadi apa pada hari ini??, harusnya ku tak perlu
risau, yang jelas hari ini akan berlalu. Baiklah, mata ku buka kembali, aku
sadar, harus ku gugurkan kewajibanku semaksimal mungkin. Ya, sholat subuh,
kewajiban seluruh penganut agama Islam.
Buku biru beserta
penanya. Pagi buta seperti ini, kubawa duniaku untuk mengahadap pak Ahmad
berharap bisa sedikit menghilangkan piluku.
“Assalamu’alaikum.”
Belum ada yang menjawabnya. Baik, kutunggu jawaban atas salamku dikursi depan
pintu.
Aku kurang tahu waktu, kesibukan para pengurus
untuk melanjutkan dzikir dipagi hari beserta sholat dluha malah ku ganggu dengan
kedatanganku. Pantas saja belum ada yang menjawab salam.
Tatapanku kosong, harusnya dzikir selalu
mengutip harianku seperti biasa, mengapa belakangan ini berbeda….?? Ku tanya
pada diriku, diriku tak mau menjawabnya. Jika sendiri seperti ini, tak ada
lawan bicara, lalu apa yang harus kukatakan jika bukan dzikir atau sholawat.
Untuk Al-Qur’an, sedangkan aku berhadats. Untuk berwudlu, agh… enggan sekali ku
angkat bobot tubuh 46kg ini. “Ayolah Harun… beri pengertian untuk
waktumu, agar tidak nampak sia-sia!” gumamku.
Harusnya sepi
ini menjadi pelajaran besar untuk menggapai taraf khusyu’ dalam mengingat Allah. Kemudian Harun berhasil
menggemingkan bibirnya merapal sholawat Thibbil qulub dan lapadz يَالَطِيْفُ . pikir Harun,
lantunan ini pas untuk keadaannya.
Dua jam empat
puluh delapan menit berlalu, cukup lama menunggu. Lamanya menunggu, amat syukur
waktu ini tak seutuhnya kosong, waktu ini telah tersimpulkan untuk dzikir dan
sholawat. Baiklah, kuputuskan lagi untuk mengucap salam.
“Assalamu’alaikum.”
Dengan nada rendah penuh tunduk ku
ucapkan sebelum memasuki kantor tempat dimana pak Ahmad bersemayam.
“Wa’alaikumsalam.”
Jawab salah satu pengurus berpakaian rapi dengan satu sorban putih yang tersangkut
dipundaknya. “ada perlu apa??” tambahnya.
“Maaf sedikit
mengganggu. Pak Ahmadnya ada??”
“Tengah malam
tadi, beliau mendadak keluar pondok. Ucapnya, kira-kira satu minggu beliau akan
menemani ibunya di rumah sakit.”
Deg.
Kututup dengan
salam. selepasnya, aku bergegas merujuk kamar. Rabu, hari ini jam kuliah masuk lebih
awal dari sebelumnya. Kamar pasti akan segera sepi, karena seluruh teman
kamarku akan langsung menghadap mata kuliah dikampus. Wah, ini kesempatan
besar.
***
Tegakku dipintu kamar, Tak ada satu orangpun
selain diriku dan Harun. Kulihat kau berkemas mengosongkan almari. Ransel hitam
itu sedikit demi sedikit penuh dengan sandanganmu. Jam kuliah telah tiba,
sebelum dosen masuk, aku sempat mencarimu namun tak sedikitpun pelupuk mata ini
melihat kau hadir. Rooftop tempat dimana biasanya kau menggoreskan tinta, ternyata disana tak ada tapak kakimu.
Dari sini, kuputuskan bahwa kau sedang kenapa-napa, maka kamarlah tempat
tujuanku berikutnya.
“Kemana
langkahmu selanjutnya? Apakah ini solusi untuk masalahmu??” dengan nada yang
cukup rendah kusampaikan padanya, Harun.
Seketika
Harun berhenti berkemas. Mendengar suara Ifan, bukan bikin Harun tegang karena
misinya gagal, namun malah menyadarkan Harun bahwa tindakan ini benar-benar
salah.
“tenang. Jangan
ambil keputusan dalam keadaan penuh amarah, Run!!.” Tambahku.
“silahkan berbagi, kamu harus sadar bahwa kamu nggak sendiri.”
Malah
meneteskan air mata?? Sedalam itukan luka yang kau pendam??.
Hahaha,, ingin rasanya ku tertawa. Jelas menertawaimu.
Aku faham betul ini bukan Harun. Harun yang ku kenal tidak pernah mau goyah
apalagi meneteskan air mata. Padahal sebelumnya, kau lelaki panutan Run, Dimana
semangatmu sebelum ini???
“Hartaku. Usia
rentanyaa… Fan…,,, aku anak yang nggak
guna. Betul-betul nggak guna Fan, nggak guna!!.” Berkali-kali Harun putuskan
bahwa dirinya tidak berguna, sekaligus malah disusul tangis pilu Harun yang
makin mendalam.
“kau cukup
berbakti.” Ifan mulai menarik kesimpulan
bahwa tangisan Harun bukan lain terkait sosok ibu dengan usia rentanya yang ribuan
kali telah Harun ceritakan kala lalu. Padahal, cerita dari Harun merupakan
sebuah kisah yang harus dijadikan inspirasi bukan malah ditangisi.
“Ibumu mau apa??” tambahku.
“Ibumu hanya mau kau disini Run..,, dipesantren... Turutilah kemauan
ibumu, Run. Pesantren merupakan tempat yang mulia, bukan tempat yang hina.
Berani kau menentang keinginan ibumu??”
Selalu nyaman bersama, berat untuk meninggalkan,
mengingat telah masuk usia yang pada umumnya ikut sibuk mencari pendapatan. Tentu
tak terima harta satu-satunya malah dibiarkan begitu saja tanpa dijaga, padahal
sebenarnya ada tindakan dalam menjaganya, jawabannya adalah menjaga lewat
perantara lantunan Do’a yang istiqomah, hanya saja tindakan spiritual terkadang
kurang memuaskan walaupun sebenarnya pantas memuaskan, tinggal siapa yang dapat
menerimanya maka itulah yang cukup baginya.
Harta ini lebih
mulia dari pada legendarisnya Qarun beserta hartanya yang ditelan Bumi pada zaman
hidupnya Fir’aun kala itu. Dan harta ini adalah, sosok seorang IBU, dimana
syurga ada dibawah telapak kakinya.
Penulis adalah: Literasi
Mahasantri

Komentar