HARTA HARUN

Oleh: Kholisoh Nur Azizah_ sem. IV

      


     “Yang bener Run!!. Itu tindakan yang salah, bukan solusi.”

      Tak bisa berbohong, wajahmu nampak penuh haru selepas keluar dari kantor pusat. Langkah yang mulanya begitu tegak nan cekata, belakangan ini makin hari malah lengah tapi masih sedikit ada daya.

       Mengerucut bisu mimik wajah yang kau sampaikan padaku. Selepas jamaah ashar, kau malah pergi entah kemana bersama satu buku biru dan penanya.

        Berpindah hari. Saat sinar matahari belum juga muncul, kau datang hanya membawa senyuman terpaksa. Senyuman yang kau beri padaku bukan seperti senyuman seminggu yang lalu, aku tahu betul hal itu. Hanya selimut biru yang mungkin membuatmu sedikit nyaman saat kau baringkan tubuh lemasmu dikasur tipis tak ada rasa empuk.  Padahal ini masih teramat pagi, matahari baru mengeluarkan sinarnya dua menit menit yang lalu, ibadah yang biasanya kau tunaikan malah kau ganti untuk mencari bunga tidur.      “salah satu penyebab fakir,,,,” dawuh kyaiku.

       Saat berlanjut takbir maghrib menyatukan  umat muslim yang akan merujuk pada masjid atau mushola, tapak pena yang berjalan mengukir ribuan kalimat pada buku birumu, seketika terhenti. Telinga langsung terfokuskan pada suara adzan itu dan berhasil menggemingkan bibirmu  Allahu akbar” menjawab adzan lalu tunduk melangkah mengincar shaf pertama diAula utama.

      “Tumben langsung tidur??. Padahal kajian malam kali ini diampu oleh pak Ahmad loh.” Ujar Ifan teman kamar yang memperhatikan Harun. Pak Ahmad adalah guru favorit Harun sedari awal ia belajar dipesantren.

      “Iya, lagi butuh banyak istirahat aja. Nggak papa, besok aku siap menghadap hukuman dari pak Ahmad karena bolos mengaji.”

       Senyumanmu amat kaku, begitu pasrahnya dirimu, seperti tak ada rasa bungah untuk melanjutkan hari. Lagi dan lagi yang kau bersamai adalah selimut biru langit, terengkuh hangat hingga menutupi seluruh tubuhmu, dari ujung kaki hingga ujung rambut.

        Dalam selimut itu, terdengar lirih isak tangismu. Mau ku tanya, tak mungkin kau menjawabnya. Aku tahu, kau sedang butuh ketenangan sesuai dengan caramu sendiri. Karena aku harus menggugurkan kewajibanku untuk mengaji, maka ku tinggalkan kau sendiri dikamar yang telah hening ini.

         Kesendirianku dikamar, membuat tangisku makin meledak. Sekuat mungkin ku tahan suara kerasku agar tak ada yang mendengar bahwa aku sedang menangis. Iyakah?, semakin teringat jelas saat  kau suapkan satu sendok makan dengan sayur bayam dan cuilan tempe goreng diusia remajaku. sedikit malu, sudah besar, makan masih disuapin. Tapi rasa itu begitu nikmat tiada tara, ditambah cerita panjang yang menjelaskan keadaan zaman dahulu sebelum adanya aku.

        meredalah! Cukup sudah tetesan bening ini jatuh luntur membasahi pipi.” Seruanku dalam hati. 

          Berasa ingin selalu ada dalam bunga tidur. Entah yang terjadi berupa mimpi baik ataupun mimpi buruk, yang ku tahu itu hanyalah mimpi yang tak berpengaruh apapun, tidak mengandung dosa tidak juga mengandung pahala, itulah bunga tidur. Bukan realita yang membuatku terkadang  harus mengadem-adem diri sendiri agar tidak bunuh diri dan tentunya akan  berpengaruh atas apa tindakanku itu.  Jika aku mimpi buruk pun, dan kemudian terbangun, masih bisa kuludahkan kesebelah kiri sesuai dengan Hadits Riwayat Muslim yang berbunyi: Dari Jabir ra. Dari Rasulullah saw., beliau bersabda: Bila salah seorang dari kami bermimpi sesuatu yang tidak disenanginya maka hendaklah ia meludah kesebelah kirinya sebanyak tiga kali dan berlindung diri dari gangguan syetan ( dengan membaca A’udzubillahi minasy syaithaanir rajiim) sebanyak tiga kali serta berbaliklah dari tidurnya yang semula”. ( HR. Muslim).                                     baiknya sunah rasul yang kudapat.

                                                                              ***

      Berat. Berat untuk membuka mata. Bukan karena masih terkantuk-kantuk, tapi karena ragu untuk menghadapi hari ini. Akan terjadi apa pada hari ini??, harusnya ku tak perlu risau, yang jelas hari ini akan berlalu. Baiklah, mata ku buka kembali, aku sadar, harus ku gugurkan kewajibanku semaksimal mungkin. Ya, sholat subuh, kewajiban seluruh penganut agama Islam.

      Buku biru beserta penanya. Pagi buta seperti ini, kubawa duniaku untuk mengahadap pak Ahmad berharap bisa sedikit menghilangkan piluku.

      “Assalamu’alaikum.” Belum ada yang menjawabnya. Baik, kutunggu jawaban atas salamku dikursi depan pintu.

       Aku kurang tahu waktu, kesibukan para pengurus untuk melanjutkan dzikir dipagi hari  beserta sholat dluha malah ku ganggu dengan kedatanganku. Pantas saja belum ada yang menjawab salam.

       Tatapanku kosong, harusnya dzikir selalu mengutip harianku seperti biasa, mengapa belakangan ini berbeda….?? Ku tanya pada diriku, diriku tak mau menjawabnya. Jika sendiri seperti ini, tak ada lawan bicara, lalu apa yang harus kukatakan jika bukan dzikir atau sholawat. Untuk Al-Qur’an, sedangkan aku berhadats. Untuk berwudlu, agh… enggan sekali ku angkat bobot tubuh 46kg  ini.                                                                                                                             “Ayolah Harun… beri pengertian untuk waktumu, agar tidak nampak sia-sia!”  gumamku.

     Harusnya sepi ini menjadi pelajaran besar untuk menggapai taraf khusyu’  dalam mengingat Allah. Kemudian Harun berhasil menggemingkan bibirnya merapal sholawat Thibbil qulub dan lapadz يَالَطِيْفُ  . pikir Harun, lantunan ini pas untuk keadaannya. 

      Dua  jam empat puluh delapan menit berlalu, cukup lama menunggu. Lamanya menunggu, amat syukur waktu ini tak seutuhnya kosong, waktu ini telah tersimpulkan untuk dzikir dan sholawat. Baiklah, kuputuskan lagi untuk mengucap salam.  

       “Assalamu’alaikum.”  Dengan nada rendah penuh tunduk ku ucapkan sebelum memasuki kantor tempat dimana pak Ahmad bersemayam.

      “Wa’alaikumsalam.” Jawab salah satu pengurus berpakaian rapi dengan satu sorban putih yang tersangkut dipundaknya.  “ada perlu apa??”   tambahnya.

      “Maaf sedikit mengganggu.  Pak Ahmadnya ada??”

      “Tengah malam tadi, beliau mendadak keluar pondok. Ucapnya, kira-kira satu minggu beliau akan menemani ibunya di rumah sakit.”

    Deg.

     Kututup dengan salam. selepasnya, aku bergegas merujuk kamar. Rabu, hari ini jam kuliah masuk lebih awal dari sebelumnya. Kamar pasti akan segera sepi, karena seluruh teman kamarku akan langsung menghadap mata kuliah dikampus. Wah, ini kesempatan besar.                                        

                                                                       ***

       Tegakku dipintu kamar, Tak ada satu orangpun selain diriku dan Harun. Kulihat kau berkemas mengosongkan almari. Ransel hitam itu sedikit demi sedikit penuh dengan sandanganmu. Jam kuliah telah tiba, sebelum dosen masuk, aku sempat mencarimu namun tak sedikitpun pelupuk mata ini melihat kau hadir. Rooftop tempat dimana biasanya kau menggoreskan  tinta, ternyata disana tak ada tapak kakimu. Dari sini, kuputuskan bahwa kau sedang kenapa-napa, maka kamarlah tempat tujuanku berikutnya.

       “Kemana langkahmu selanjutnya? Apakah ini solusi untuk masalahmu??” dengan nada yang cukup rendah kusampaikan padanya, Harun.

        Seketika Harun berhenti berkemas. Mendengar suara Ifan, bukan bikin Harun tegang karena misinya gagal, namun malah menyadarkan Harun bahwa tindakan ini benar-benar salah.

        “tenang. Jangan ambil keputusan dalam keadaan penuh amarah, Run!!.”  Tambahku.  “silahkan berbagi, kamu harus sadar bahwa kamu nggak sendiri.”

         Malah meneteskan air mata?? Sedalam itukan luka yang kau pendam??.

Hahaha,, ingin rasanya ku tertawa. Jelas menertawaimu. Aku faham betul ini bukan Harun. Harun yang ku kenal tidak pernah mau goyah apalagi meneteskan air mata. Padahal sebelumnya, kau lelaki panutan Run, Dimana semangatmu sebelum ini???

        “Hartaku. Usia rentanyaa… Fan…,,,  aku anak yang nggak guna. Betul-betul nggak guna Fan, nggak guna!!.” Berkali-kali Harun putuskan bahwa dirinya tidak berguna, sekaligus malah disusul tangis pilu Harun yang makin mendalam.

       “kau cukup berbakti.”  Ifan mulai menarik kesimpulan bahwa tangisan Harun bukan lain terkait sosok ibu dengan usia rentanya yang ribuan kali telah Harun ceritakan kala lalu. Padahal, cerita dari Harun merupakan sebuah kisah yang harus dijadikan inspirasi bukan malah ditangisi.

       “Ibumu mau apa??”  tambahku.  “Ibumu hanya mau kau disini Run..,, dipesantren... Turutilah kemauan ibumu, Run. Pesantren merupakan tempat yang mulia, bukan tempat yang hina. Berani kau menentang keinginan ibumu??”

       Selalu nyaman bersama, berat untuk meninggalkan, mengingat telah masuk usia yang pada umumnya ikut sibuk mencari pendapatan. Tentu tak terima harta satu-satunya malah dibiarkan begitu saja tanpa dijaga, padahal sebenarnya ada tindakan dalam menjaganya, jawabannya adalah menjaga lewat perantara lantunan Do’a yang istiqomah, hanya saja tindakan spiritual terkadang kurang memuaskan walaupun sebenarnya pantas memuaskan, tinggal siapa yang dapat menerimanya maka itulah yang cukup baginya.

      Harta ini lebih mulia dari pada legendarisnya Qarun beserta hartanya yang ditelan Bumi pada zaman hidupnya Fir’aun kala itu. Dan harta ini adalah, sosok seorang IBU, dimana syurga ada dibawah telapak kakinya.

                                                                                                         

Penulis adalah:  Literasi Mahasantri

 

 

 

 

 

 

 

 

 

           

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AKU, DIMASA SEKARANG DAN MASA YANG AKAN DATANG

MELESTARIKAN SUMBER DAYA ALAM